Minggu, 23 Juni 2013

Wali Songo Bagian IV : Sunan Muria



Beliau dikenal dengan sebutan Sunan Muria, oleh karena beliau dimakamkan di atas bukit di kaki gunung Muria, yang termasuk dalam daerah kerajaan Kudus. Sunan Muria suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa, berbaur bersama rakyat jelata. Sebab itulah, ia sengaja memilih lereng Gunung Muria sebagai tempat berdakwah. Berbeda dengan Kudus bagian tengah yang mengalami kemajuan secara infrastruktur. Tempat itu terletak 18 km di sebelah utara pusat kota Kudus. Meski demikian, beliau juga rajin berdakwah di daerah tetangganya seperti Jepara, Tayu, Juana dan Pati.

Sunan Muria adalah termasuk salah seorang dari kesembilan wali yang terkenal di Jawa. Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak) dan Sunan Kalijaga. Nama aslinya adalah Raden Prawoto atau Raden Umar Said. Namun silsilahnya terdapat dua versi; yang satu disebut sebagai putra Sunan Kalijaga, yang lain sebagai putra Sunan Ngudung. Dalam versi putra Sunan Kalijaga juga terdapat dua versi, yakni sebagai keturunan Arab dan keturunan Jawa. Sementara itu, sebagai putra Sunan Kalijaga ataupun Sunan Ngudung, sebuah naskah tulisan tangan Keraton Cirebon, Purwaka Caruban Nagari, akan menghubungkan dua versi silsilah Sunan Muria ke satu nenek moyang, yakni Syekh Jumadil Kubro, tentunya keturunan Arab. Keruwetan ini belum terbereskan sampai sekarang. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

Mesjid Sunan Muria di Sekitar Lokasi Makam

Beliau menikah dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung, atau kakak dari Sunan Kudus.
Selain itu Sunan Muria juga menikah dengan Dewi Roroyono, putri Ki Ageng Ngerang (guru Sunan Muria). Sunan Muria memperoleh seorang putra dari pernikahannya dengan Dewi Roroyono yang diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilungu.

Sejak kecil, ia sudah akrab dengan literatur keagamaan. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Muria dikenal sebagai sunan rakyat jelata. Ia akrab dan hidup di tengah-tengah mereka. Ia tak sudi menghambakan diri pada kekayaan dan kekuasaan. Sunan Muria banyak bertugas di daerah Kudus. Terutama bagian utara, di lereng Gunung Muria. Ia tinggal dan mendirikan sebuah pesantren di sana. Di saat, para wali lain hidup di pusat kota, ia malah mengasingkan diri di daerah pegunungan. Namun, ia tak meninggalkan dakwah Islam. Justru, "pengasingan" itulah yang menjadikannya da’i yang ramah dan toleran.

Sunan Muria mengajarkan berbagai keterampilan seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut kepada rakyat. Itu sangatlah efektif karena mereka adalah kaum pekerja yang tidak bisa berkumpul setiap saat. Dengan memberikan kursus, maka mereka bisa meluangkan waktu khusus untuk belajar agama.
Sebagian besar mereka adalah pemeluk Hindu taat yang "lari" dari dakwah Sunan Kudus di sekitar Menara. Itu menjadi bukti bahwa tidak mudah mendekati mereka. Karena itulah jalur kesenian tetap harus dipergunakan. Dengan jalan itu, ia bermaksud membuat masyarakat di sekitarnya merasa nyaman, sehingga lebih bisa menerima dan mencerna ajaran-ajaran untuk mengingat Allah SWT. Sunan Muria rajin mengarang tembang-tembang Jawa untuk memperkuat ingatan masyarakat akan nilai-nilai Islam. Bahkan, ia dikenal sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanti. Tembangnya yang populer dilantunkan dalang pada zaman sekarang adalah Sinom Parijotho. Parijotho adalah nama tumbuhan yang hidup di lereng Muria.

Sebagai salah seorang anggota walisongo, ia juga sangat berperan dalam membangun Kerajaan Demak. Ia merupakan salah satu pendiri dan penyokong yang setia. Bahkan karena wataknya yang halus dan ramah serta berpikiran luas, ia sering diminta untuk memecahkan berbagai masalah. Konon, betapa pun rumitnya masalah itu, Sunan Muria mampu meberikan jalan yang terbaik. Ia juga sering diminta menjadi penengah dalam berbagai konflik. Termasuk konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak menjadi geger karena banyak yang memperebutkan takhta kerajaan tersebut. Tercatat, sekitar empat kali Demak mengalami pergantian pimpinan. Hebatnya, solusi pemecahan yang ditawarkan oleh Sunan Muria selalu dapat diterima oleh pihak-pihak yang berseteru.
Sunan Muria juga sering dikaitkan dengan beberapa legenda yang berkembang di masyarakat, antara lain:

Legenda Hutan Jati Masin

Sunan Muria mempunyai banyak murid, yang datang ke Colo dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, dan Pandanaran yang kini disebut Semarang - dari daerah inilah datang berguru Raden Bagus Rinangku. Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama Raden Ayu Nawangsih saling jatuh hati dengan pemuda tersebut. Adapun Sunan Muria ternyata tidak merestuinya, karena telah memilih Kyai Caboleh sebagai menantu. Sunan Muria menugaskan Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh, yang merampok dan membunuh di sekitar Muria, tentu maksudnya agar Bagus Rinangku perlaya di tangan mereka. Namun ternyata pemuda Pandanaran ini bukan hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya bertobat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai Kiai Mashudi.

Maka Sunan Muria segera memberi tugas lain, yakni agar Bagus Rinangku menjaga sawah yang padinya sedang menguning di daerah Masin, yang jauh letaknya dari Muria - dengan begitu ia berharap hubungan cinta pasangan itu terputus. Suatu hari, ketika ditengoknya, ternyata bukan saja burung-burung didiamkan saja menyambar padi, sehingga sawah tersebut tampak amburadul, tetapi juga dipergokinya Bagus Rinangku sedang bermain cinta dengan putrinya, Raden Ayu Nawangsih. Semakin naik darah Sunan Muria ketika ia menanyakan perkara sawah tersebut, dijawab bahwa adalah Sunan Muria yang memerintahkan agar dia menjaga supaya burung-burung bisa berpesta. Jawaban nekad ini masih disusul pamer kesaktian, dengan mengembalikan sawah yang hancur itu seperti keadaan semula.

Tindakan Bagus Rinangku ini mengundang petaka. Sunan Muria mengeluarkan panah dan mengancam Bagus Rinangku, tetapi panah itu melesat dari busurnya dan menembus dada pemuda itu sampai ke punggungnya. Lantas, mengikuti pola kisah klasik, Nawangsih menubruk tubuh kekasihnya, sehingga ujung panah yang telah menembus punggung itu menembus pula perutnya. Sepasang kekasih itu tewas bersama.

Bagus Rinangku dan Nawang Wulan lantas dimakamkan di puncak bukit dengan iringan airmata penduduk. Usai Sunan Muria berbicara dalam pemakaman itu, masih juga mereka tersedu-sedan, yang membuat Sunan Muria bersabda, "Kalian semua tidak beranjak, tidak bergerak seperti pohon jati." Orang-orang yang masih tersedu-sedan itu pun menjadi pohon jati, yang kini merupakan hutan jati di Masin. Riwayat semacam ini tentu tidak mencerminkan karakter Sunan Muria sebagai alim ulama yang bijaksana. Namun kesimpulan jangan terlalu cepat ditarik sebelum mengikuti kisah berikutnya.

Legenda Maling Kopo

Sunan Muria menghadiri pesta tasyakuran (syukuran) di Juwana yang diadakan Ki Ageng Ngerang, kakek Juru Martani yang kelak akan menjadi pendukung penting Sutawijaya dalam mendirikan Kerajaan Mataram.

Konon pesta yang dihadiri murid-muridnya itu untuk mensyukuri tercapainya usia 20 dari putri Ki Ageng, yakni Dewi Roroyono. Adalah putri tersebut yang menghidangkan makanan dan minuman, dan apa boleh buat membuat salah seorang muridnya, Adipati Pethak Warak, terpesona begitu rupa sehingga berniat menculiknya. Sebetulnya bukan hanya daya tarik Roroyono, melainkan perilaku Roroyono yang telah mempermalukan sang adipati memicu kehendaknya - dalam pesta itu Pethak Warak yang sudah beristri merayu dengan kasar dan menarik-narik tangan Roroyono, sehingga gadis muda itu tersinggung dan menyipratkan minuman ke baju Pethak Warak.

Tak bisa menahan diri, malam itu juga ia menculik Roroyono, dan membawanya ke Mandalika di wilayah Keling. Tentu saja ini membuat Ki Ageng murka.

Barangkali sesuai adat waktu itu, Ki Ageng Ngerang lantas menyayembarakan putrinya tersebut: Barangsiapa mampu mengembalikan Roroyono boleh menjadi suaminya. Meski begitu, sayembara ini terasa berat, karena Pethak Warak dikenal sakti mandraguna. Adalah Sunan Muria yang mengajukan diri untuk merebut Roroyono, bukan karena bermaksud memperistri, melainkan sekadar membantu gurunya, karena ia sendiri juga sudah menikah.

Ketika ia berangkat, di jalan bertemu dengan dua bersaudara murid-murid Ki Ageng yang tidak ikut menginap, jadi belum mendengar peristiwa itu, yakni Genthiri dan Kopo. Mereka berdua langsung menawarkan bantuan, bahkan untuk menggantikan Sunan Muria, dan jika berhasil Roroyono tetap menjadi istri Sunan Muria. Adapun Sunan Muria setuju saja dan pulang ke Colo.

Alhasil, dengan bantuan orang sakti bernama Wiku Lodhang Datuk, Roroyono berhasil diambil kembali. Apa boleh buat, malah sekarang Kopo tersebut jatuh cinta kepada Roroyono sampai jatuh sakit. Padahal, Roroyono sudah diperistri Sunan Muria. Prihatin atas penderitaan adiknya, Genthiri berangkat ke Muria bermaksud merebut Roroyono, tetapi ia tewas dalam adu kesaktian melawan murid-murid Sunan Muria. Mendengar berita ini, Kopo berangkat menyusulnya, tapi menunggu saat yang baik, yakni ketika Sunan Muria dan murid-muridnya turun gunung. Setelah berhasil menculik Roroyono, Kopo dengan cerdik membawanya ke Pulau Seprapat, tempat Wiku Lodhang Datuk bermukim. Namun ternyata orang sakti itu kali ini tidak bersedia membantunya, sehingga ketika murid Sunan Muria yang mengejarnya tiba, Kopo hanya bisa memberi perlawanan sebentar sebelum mati terbunuh. Sejak saat itu, istilah "maling Kopo" diberikan kepada mereka yang membawa lari perempuan untuk dipaksa jadi istrinya.

Dari legenda ini, kita bisa mencatat, tak satu pun aksi dilakukan Sunan Muria sendiri, semuanya dikerjakan orang lain untuknya.

Jelawang, Towelo, Sigelap

Dalam legenda berikut ini, nama Sunan Muria terhubungkan dengan nama-nama tempat, seperti Jelawang, Towelo, dan Sigelap, maupun dengan sebuah pintu gerbang di Rondole, Desa Muktiharjo, 15 kilometer di sebelah utara Pati, yang dipercaya berasal dari Trowulan, Majapahit.

Alkisah, Kebo Anabrang datang menghadap Sunan Muria dan mengaku sebagai anaknya. Sunan Muria tidak merasa mempunyai anak seperti Kebo Anabrang, tetapi pemuda itu mempunyai bukti yang diberikan ibunya. Menghadapi keadaan itu, Sunan Muria memerintahkan agar Kebo Anabrang mengambil pintu gerbang Majapahit dan membawanya ke Muria dalam semalam sebagai syarat pengakuan. Diceritakan betapa Kebo Anabrang nyaris berhasil, jika tidak dicegat oleh Raden Ronggo, putra Adipati Ronggojoyo dari Pati, yang tugasnya ternyata sama. Bedanya, tugas itu sebagai syarat pernikahannya dengan Roro Pujiwati, adik Roroyono tadi, artinya putri Ki Ageng Ngerang juga, yang ternyata selalu menyayembarakan anak-anak perempuannya.

Ronggo berangkat dengan semangat, apa daya di tengah jalan dilihatnya Kebo Anabrang sudah membawa pintu gerbang itu, dan sedang kebingungan karena ganjalnya jatuh entah di mana. Nah, ganjal pintu yang disebut ganjel lawang itu ternyata jatuh di tempat yang sekarang disebut Jelawang. Begitulah, berlangsung adu kesaktian nan seru antara Ronggo dan Anabrang memperebutkan pintu itu, sehingga terpaksa dipisahkan oleh Sunan Muria sendiri, yang mampu menyaksikan adu kesaktian secara kasatmata, yang dalam bahasa Jawa disebut ceto welo-welo, sehingga tempat pertarungan itu sekarang disebut Towelo.

Sunan Muria berujar, siapa yang mampu mengangkat pintu itu berhak membawanya. Ternyata Ronggo tidak kuat, jadi ia diberi palangnya saja dan dipersilakan balik ke Juwana. Namun karena hanya membawa palang saja, tentu ia tidak boleh mengawini Pujiwati, dan karena marah Ronggo mengayunkan palang itu ke kepala Pujiwati - saat itulah terdengar guntur dan Pujiwati pun raib.

Guntur dalam bahasa Jawa disebut gelap, maka tempat itu sekarang disebut Sigelap, begitu pula dengan jembatan yang ada di sana. Peristiwa itu konon terjadi tanggal 15 Sya'ban. Kini setiap tanggal 15 Sya'ban ketika bulan purnama, masih suka terlihat pasangan muda datang ke tempat yang terletak satu kilometer dari Juwana itu, seperti mau meminta berkah.

Tentang Anabrang, ia juga gagal, karena baru mau berangkat, ternyata ayam jantan sudah berkokok - artinya ia terlambat. Maka Sunan Muria menugaskan Kebo Anabrang yang merindukan seorang ayah agar menjaga pintu tersebut, sampai akhir hayatnya.

Sunan Muria wafat dan dimakamkan di Desa Colo pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berbeda dengan para wali lain yang makamnya dikelilingi oleh para punggawanya, makam Sunan Muria terlihat menyendiri.  Justru para murid yang membantunya dalam berdakwah dimakamkan di tempat yang agak jauh dari makamnya. Itu mungkin disebabkan oleh wataknya yang selalu suka menyendiri. Komplek makam Sunan Muria telah dipugar beberapa kali. Karena itu hanya beberapa bagianlah yang masih utuh. Arealnya juga diperluas, terutama di bagian sebelah kanan makam. Banyak bangunan baru, seperti bangunan tempat minum air peninggalan Sunan Muria dan lainnya. Seiring dengan pemugaran dan penambahan bangunan, para penjaga dan karyawan pun bertambah. Kepengurusannya dikelola oleh Yayasan Sunan Muria yang bertempat di sebelah luarnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar