Beliau dikenal dengan sebutan Sunan
Muria, oleh karena beliau dimakamkan di atas bukit di kaki gunung Muria, yang
termasuk dalam daerah kerajaan Kudus. Sunan Muria suka menyendiri dan bertempat
tinggal di desa, berbaur bersama rakyat jelata. Sebab itulah, ia sengaja
memilih lereng Gunung Muria sebagai tempat berdakwah. Berbeda dengan Kudus
bagian tengah yang mengalami kemajuan secara infrastruktur. Tempat itu terletak
18 km di sebelah utara pusat kota Kudus. Meski demikian, beliau juga rajin
berdakwah di daerah tetangganya seperti Jepara, Tayu, Juana dan Pati.
Sunan Muria adalah termasuk salah
seorang dari kesembilan wali yang terkenal di Jawa. Sunan Muria adalah putra
Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak) dan
Sunan Kalijaga. Nama aslinya adalah Raden Prawoto atau Raden Umar Said. Namun
silsilahnya terdapat dua versi; yang satu disebut sebagai putra Sunan Kalijaga,
yang lain sebagai putra Sunan Ngudung. Dalam versi putra Sunan Kalijaga juga
terdapat dua versi, yakni sebagai keturunan Arab dan keturunan Jawa. Sementara
itu, sebagai putra Sunan Kalijaga ataupun Sunan Ngudung, sebuah naskah tulisan
tangan Keraton Cirebon, Purwaka Caruban Nagari, akan menghubungkan dua versi
silsilah Sunan Muria ke satu nenek moyang, yakni Syekh Jumadil Kubro, tentunya
keturunan Arab. Keruwetan ini belum terbereskan sampai sekarang. Nama Muria
diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke
utara kota Kudus.
Mesjid Sunan Muria di Sekitar Lokasi Makam
Beliau menikah dengan Dewi Soejinah
putri Sunan Ngudung, atau kakak dari Sunan Kudus.
Selain itu Sunan Muria juga menikah
dengan Dewi Roroyono, putri Ki Ageng Ngerang (guru Sunan Muria). Sunan Muria
memperoleh seorang putra dari pernikahannya dengan Dewi Roroyono yang diberi
nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilungu.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan literatur
keagamaan. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Muria
dikenal sebagai sunan rakyat jelata. Ia akrab dan hidup di tengah-tengah
mereka. Ia tak sudi menghambakan diri pada kekayaan dan kekuasaan. Sunan Muria
banyak bertugas di daerah Kudus. Terutama bagian utara, di lereng Gunung Muria.
Ia tinggal dan mendirikan sebuah pesantren di sana. Di saat, para wali lain
hidup di pusat kota, ia malah mengasingkan diri di daerah pegunungan. Namun, ia
tak meninggalkan dakwah Islam. Justru, "pengasingan" itulah yang
menjadikannya da’i yang ramah dan toleran.
Sunan Muria mengajarkan berbagai keterampilan
seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut kepada rakyat. Itu sangatlah
efektif karena mereka adalah kaum pekerja yang tidak bisa berkumpul setiap
saat. Dengan memberikan kursus, maka mereka bisa meluangkan waktu khusus untuk
belajar agama.
Sebagian besar mereka adalah pemeluk Hindu taat
yang "lari" dari dakwah Sunan Kudus di sekitar Menara. Itu menjadi
bukti bahwa tidak mudah mendekati mereka. Karena itulah jalur kesenian tetap
harus dipergunakan. Dengan jalan itu, ia bermaksud membuat masyarakat di
sekitarnya merasa nyaman, sehingga lebih bisa menerima dan mencerna
ajaran-ajaran untuk mengingat Allah SWT. Sunan Muria rajin mengarang
tembang-tembang Jawa untuk memperkuat ingatan masyarakat akan nilai-nilai
Islam. Bahkan, ia dikenal sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanti.
Tembangnya yang populer dilantunkan dalang pada zaman sekarang adalah Sinom
Parijotho. Parijotho adalah nama tumbuhan yang hidup di lereng Muria.
Sebagai salah seorang anggota walisongo, ia juga
sangat berperan dalam membangun Kerajaan Demak. Ia merupakan salah satu pendiri
dan penyokong yang setia. Bahkan karena wataknya yang halus dan ramah serta
berpikiran luas, ia sering diminta untuk memecahkan berbagai masalah. Konon,
betapa pun rumitnya masalah itu, Sunan Muria mampu meberikan jalan yang
terbaik. Ia juga sering diminta menjadi penengah dalam berbagai konflik.
Termasuk konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Sebagaimana tertulis
dalam sejarah, sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak menjadi geger karena
banyak yang memperebutkan takhta kerajaan tersebut. Tercatat, sekitar empat kali
Demak mengalami pergantian pimpinan. Hebatnya, solusi pemecahan yang ditawarkan
oleh Sunan Muria selalu dapat diterima oleh pihak-pihak yang berseteru.
Sunan Muria juga sering dikaitkan
dengan beberapa legenda yang berkembang di masyarakat, antara lain:
Legenda Hutan Jati Masin
Sunan Muria mempunyai banyak murid,
yang datang ke Colo dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, dan Pandanaran
yang kini disebut Semarang - dari daerah inilah datang berguru Raden Bagus
Rinangku. Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama
Raden Ayu Nawangsih saling jatuh hati dengan pemuda tersebut. Adapun Sunan
Muria ternyata tidak merestuinya, karena telah memilih Kyai Caboleh sebagai
menantu. Sunan Muria menugaskan Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh,
yang merampok dan membunuh di sekitar Muria, tentu maksudnya agar Bagus
Rinangku perlaya di tangan mereka. Namun ternyata pemuda Pandanaran ini bukan
hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya
bertobat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai
Kiai Mashudi.
Maka Sunan Muria segera memberi
tugas lain, yakni agar Bagus Rinangku menjaga sawah yang padinya sedang
menguning di daerah Masin, yang jauh letaknya dari Muria - dengan begitu ia berharap
hubungan cinta pasangan itu terputus. Suatu hari, ketika ditengoknya, ternyata
bukan saja burung-burung didiamkan saja menyambar padi, sehingga sawah tersebut
tampak amburadul, tetapi juga dipergokinya Bagus Rinangku sedang bermain cinta
dengan putrinya, Raden Ayu Nawangsih. Semakin naik darah Sunan Muria ketika ia
menanyakan perkara sawah tersebut, dijawab bahwa adalah Sunan Muria yang
memerintahkan agar dia menjaga supaya burung-burung bisa berpesta. Jawaban
nekad ini masih disusul pamer kesaktian, dengan mengembalikan sawah yang hancur
itu seperti keadaan semula.
Tindakan Bagus Rinangku ini
mengundang petaka. Sunan Muria mengeluarkan panah dan mengancam Bagus Rinangku,
tetapi panah itu melesat dari busurnya dan menembus dada pemuda itu sampai ke punggungnya.
Lantas, mengikuti pola kisah klasik, Nawangsih menubruk tubuh kekasihnya,
sehingga ujung panah yang telah menembus punggung itu menembus pula perutnya.
Sepasang kekasih itu tewas bersama.
Bagus Rinangku dan Nawang Wulan
lantas dimakamkan di puncak bukit dengan iringan airmata penduduk. Usai Sunan
Muria berbicara dalam pemakaman itu, masih juga mereka tersedu-sedan, yang
membuat Sunan Muria bersabda, "Kalian semua tidak beranjak, tidak bergerak
seperti pohon jati." Orang-orang yang masih tersedu-sedan itu pun menjadi
pohon jati, yang kini merupakan hutan jati di Masin. Riwayat semacam ini tentu
tidak mencerminkan karakter Sunan Muria sebagai alim ulama yang bijaksana.
Namun kesimpulan jangan terlalu cepat ditarik sebelum mengikuti kisah berikutnya.
Legenda Maling Kopo
Sunan Muria menghadiri pesta
tasyakuran (syukuran) di Juwana yang diadakan Ki Ageng Ngerang, kakek Juru
Martani yang kelak akan menjadi pendukung penting Sutawijaya dalam
mendirikan Kerajaan Mataram.
Konon pesta yang dihadiri murid-muridnya
itu untuk mensyukuri tercapainya usia 20 dari putri Ki Ageng, yakni Dewi
Roroyono. Adalah putri tersebut yang menghidangkan makanan dan minuman, dan
apa boleh buat membuat salah seorang muridnya, Adipati Pethak Warak,
terpesona begitu rupa sehingga berniat menculiknya. Sebetulnya bukan hanya daya
tarik Roroyono, melainkan perilaku Roroyono yang telah mempermalukan sang
adipati memicu kehendaknya - dalam pesta itu Pethak Warak yang sudah beristri
merayu dengan kasar dan menarik-narik tangan Roroyono, sehingga gadis muda itu
tersinggung dan menyipratkan minuman ke baju Pethak Warak.
Tak bisa menahan diri, malam itu
juga ia menculik Roroyono, dan membawanya ke Mandalika di wilayah Keling. Tentu
saja ini membuat Ki Ageng murka.
Barangkali sesuai adat waktu itu, Ki
Ageng Ngerang lantas menyayembarakan putrinya tersebut: Barangsiapa mampu
mengembalikan Roroyono boleh menjadi suaminya. Meski begitu, sayembara ini
terasa berat, karena Pethak Warak dikenal sakti mandraguna. Adalah Sunan Muria
yang mengajukan diri untuk merebut Roroyono, bukan karena bermaksud
memperistri, melainkan sekadar membantu gurunya, karena ia sendiri juga sudah
menikah.
Ketika ia berangkat, di jalan
bertemu dengan dua bersaudara murid-murid Ki Ageng yang tidak ikut menginap,
jadi belum mendengar peristiwa itu, yakni Genthiri dan Kopo.
Mereka berdua langsung menawarkan bantuan, bahkan untuk menggantikan Sunan
Muria, dan jika berhasil Roroyono tetap menjadi istri Sunan Muria. Adapun Sunan
Muria setuju saja dan pulang ke Colo.
Alhasil, dengan bantuan orang sakti
bernama Wiku Lodhang Datuk, Roroyono berhasil diambil kembali. Apa boleh
buat, malah sekarang Kopo tersebut jatuh cinta kepada Roroyono sampai jatuh
sakit. Padahal, Roroyono sudah diperistri Sunan Muria. Prihatin atas
penderitaan adiknya, Genthiri berangkat ke Muria bermaksud merebut Roroyono,
tetapi ia tewas dalam adu kesaktian melawan murid-murid Sunan Muria. Mendengar
berita ini, Kopo berangkat menyusulnya, tapi menunggu saat yang baik, yakni
ketika Sunan Muria dan murid-muridnya turun gunung. Setelah berhasil menculik
Roroyono, Kopo dengan cerdik membawanya ke Pulau Seprapat, tempat Wiku Lodhang
Datuk bermukim. Namun ternyata orang sakti itu kali ini tidak bersedia
membantunya, sehingga ketika murid Sunan Muria yang mengejarnya tiba, Kopo
hanya bisa memberi perlawanan sebentar sebelum mati terbunuh. Sejak saat itu,
istilah "maling Kopo" diberikan kepada mereka yang membawa lari
perempuan untuk dipaksa jadi istrinya.
Dari legenda ini, kita bisa
mencatat, tak satu pun aksi dilakukan Sunan Muria sendiri, semuanya dikerjakan
orang lain untuknya.
Jelawang, Towelo, Sigelap
Dalam legenda berikut ini, nama
Sunan Muria terhubungkan dengan nama-nama tempat, seperti Jelawang, Towelo, dan
Sigelap, maupun dengan sebuah pintu gerbang di Rondole, Desa Muktiharjo, 15
kilometer di sebelah utara Pati, yang dipercaya berasal dari Trowulan,
Majapahit.
Alkisah, Kebo Anabrang datang
menghadap Sunan Muria dan mengaku sebagai anaknya. Sunan Muria tidak merasa
mempunyai anak seperti Kebo Anabrang, tetapi pemuda itu mempunyai bukti yang
diberikan ibunya. Menghadapi keadaan itu, Sunan Muria memerintahkan agar Kebo
Anabrang mengambil pintu gerbang Majapahit dan membawanya ke Muria dalam semalam
sebagai syarat pengakuan. Diceritakan betapa Kebo Anabrang nyaris berhasil,
jika tidak dicegat oleh Raden Ronggo, putra Adipati Ronggojoyo
dari Pati, yang tugasnya ternyata sama. Bedanya, tugas itu sebagai syarat
pernikahannya dengan Roro Pujiwati, adik Roroyono tadi, artinya putri Ki Ageng
Ngerang juga, yang ternyata selalu menyayembarakan anak-anak perempuannya.
Ronggo berangkat dengan semangat,
apa daya di tengah jalan dilihatnya Kebo Anabrang sudah membawa pintu gerbang
itu, dan sedang kebingungan karena ganjalnya jatuh entah di mana. Nah, ganjal
pintu yang disebut ganjel lawang itu ternyata jatuh di tempat yang sekarang
disebut Jelawang. Begitulah, berlangsung adu kesaktian nan seru antara Ronggo
dan Anabrang memperebutkan pintu itu, sehingga terpaksa dipisahkan oleh Sunan
Muria sendiri, yang mampu menyaksikan adu kesaktian secara kasatmata, yang
dalam bahasa Jawa disebut ceto welo-welo, sehingga tempat pertarungan
itu sekarang disebut Towelo.
Sunan Muria berujar, siapa yang
mampu mengangkat pintu itu berhak membawanya. Ternyata Ronggo tidak kuat, jadi
ia diberi palangnya saja dan dipersilakan balik ke Juwana. Namun karena hanya
membawa palang saja, tentu ia tidak boleh mengawini Pujiwati, dan karena marah
Ronggo mengayunkan palang itu ke kepala Pujiwati - saat itulah terdengar guntur
dan Pujiwati pun raib.
Guntur dalam bahasa Jawa disebut
gelap, maka tempat itu sekarang disebut Sigelap, begitu pula dengan jembatan
yang ada di sana. Peristiwa itu konon terjadi tanggal 15 Sya'ban. Kini setiap
tanggal 15 Sya'ban ketika bulan purnama, masih suka terlihat pasangan muda
datang ke tempat yang terletak satu kilometer dari Juwana itu, seperti mau
meminta berkah.
Tentang Anabrang, ia juga gagal,
karena baru mau berangkat, ternyata ayam jantan sudah berkokok - artinya ia
terlambat. Maka Sunan Muria menugaskan Kebo Anabrang yang merindukan seorang
ayah agar menjaga pintu tersebut, sampai akhir hayatnya.
Sunan Muria wafat dan dimakamkan di
Desa Colo pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berbeda dengan para
wali lain yang makamnya dikelilingi oleh para punggawanya, makam Sunan Muria
terlihat menyendiri. Justru para murid
yang membantunya dalam berdakwah dimakamkan di tempat yang agak jauh dari
makamnya. Itu mungkin disebabkan oleh wataknya yang selalu suka menyendiri.
Komplek makam Sunan Muria telah dipugar beberapa kali. Karena itu hanya
beberapa bagianlah yang masih utuh. Arealnya juga diperluas, terutama di bagian
sebelah kanan makam. Banyak bangunan baru, seperti bangunan tempat minum air
peninggalan Sunan Muria dan lainnya. Seiring dengan pemugaran dan penambahan
bangunan, para penjaga dan karyawan pun bertambah. Kepengurusannya dikelola
oleh Yayasan Sunan Muria yang bertempat di sebelah luarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar