Sunan
Drajat lahir pada tahun 1470 dan merupakan putra Sunan Ampel dan Nyi Ageng
Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang
diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga.
Semasa
muda Sunan Drajat dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Nama lain
yang disandangnya di berbagai naskah kuno, diantaranya Sunan Mahmud, Sunan
Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh,
Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Raden Qasim
(Sunan Drajat) menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel,
untuk berdakwah di pesisir barat Gresik.
Sekitar
tahun 1485 Masehi Raden Qasim berlayar dari Surabaya, namun di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai. Syukurlah Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan
talang atau ikan cakalang dan berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian
dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Di sana, Raden Qasim disambut baik
oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Raden
Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang
Madu. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan, yaitu Dewi Sufiyah putri Sunan Gunung Jati, Kemuning dan Retnayu
Condrosekar putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Sunan Drajat memperoleh
tiga orang putra dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah. Anak tertua bernama
Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana, anak kedua Pangeran Sandi, dan anak
ketiga Dewi Wuryan.
Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau. Tiga tahun kemudian Raden Qasim pindah ke
selatan, ke tempat yang lebih tinggi yang dinamai Desa Drajat.
Namun,
Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas
diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan berupa hutan belantara yang terkenal
sebagai daerah angker.
Setelah
pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun
permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektar.
Atas
petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan
selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman Sunan Sendang Duwur (Raden Noer
Rahmad putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari
Baghdad, lrak), dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di
barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah
menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
"Sumur
Lengsanga di kawasan Sumenggah diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan
dalam suatu perjalanan. Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus,
sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan
lubang bekas umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur
abadi."
Sunan
Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun
perbuatan.
Sunan
Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari
gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan
hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir,
mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
Sunan menghabiskan
sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada tahun 1522. Beliau dimakamkan
di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tidak jauh
dari makam beliau dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman
Wali Sanga, khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
Gerbang Makam Sunan Drajat
Musium Sunan Drajat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar