Senin, 24 Juni 2013

Wali Songo Bagian VI : Sunan Drajat



Sunan Drajat lahir pada tahun 1470 dan merupakan putra Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga.
Semasa muda Sunan Drajat dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno, diantaranya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.
Raden Qasim (Sunan Drajat) menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik.
Sekitar tahun 1485 Masehi Raden Qasim berlayar dari Surabaya, namun di tengah perjalanan, perahunya terseret badai. Syukurlah Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang atau ikan cakalang dan berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan, yaitu Dewi Sufiyah putri Sunan Gunung Jati, Kemuning dan Retnayu Condrosekar putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Sunan Drajat memperoleh tiga orang putra dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah. Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana, anak kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan.
Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau. Tiga tahun kemudian Raden Qasim pindah ke selatan, ke tempat yang lebih tinggi yang dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan berupa hutan belantara yang terkenal sebagai daerah angker.
Setelah pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektar.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman Sunan Sendang Duwur (Raden Noer Rahmad putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad, lrak), dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
"Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan. Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi."
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada tahun 1522. Beliau dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tidak jauh dari makam beliau dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga, khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
Gerbang Makam Sunan Drajat

Musium Sunan Drajat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar