Sabtu, 22 Juni 2013

Deklarasi Mahluk Sosial dalam Surat Al Fatihah

Al-Fatihah adalah surat istimewa, selain karena kedudukannya sebagai pembuka Al-Qur’an, juga dijadikan bacaan wajib pada setiap raka’at sholat.
Al-Fatihah bisa dikatakan sebagai muqodimah dari kitab suci Al-Qur’an. Berapa kali kita membaca surat Al-Fatihah dalam sehari ?
Mari kita hitung, dalam sehari kita wajib sholat lima kali dengan total 17 raka’at, berarti dalam sehari kita membaca surat Al-Fatihah minimal 17 kali, jumlah ini tentu saja bertambah saat kita melaksanakan sholat sunat.
Tiap hari kita membaca Al-Fatihah minimal sebanyak itu, sejak kecil sampai dewasa. Pasti kita hafal di luar kepala, baik lafaz maupun terjemahannya.
Tapi pernahkah kita sesekali mendalami isi yang tersirat ketimbang sekedar terjemahan nya ?
Coba kita perhatikan tiga penggal kata yang terkandung di surat Al-Fatihah;
  • Iyyaaka  na’budu (hanya kepada-Mu  lah kami mengabdi/menyembah)
  • Wa  iyyaaka  nasta’iin (dan hanya kepada-Mu  lah kami mohon pertolongan)
  • Ihdinash shiroothol  mustaqiim (tunjukkanlah kami jalan yang lurus)
Ada tiga penggal kalimat yang menggunakan subyek “na” (dari ‘nahnu’; kami). Mungkin kita sempat iseng berpikir, kalimat dalam surat Al-Fatihah itu hanya cocok dibaca jika sedang sholat berjama’ah (?) jika sedang sholat sendirian rasanya menjadi tidak cocok.
Kenapa bacaan kalimatnya tidak di ubah saja menjadi ;
  • Iyyaaka  a’budu (hanya kepada-Mu  lah aku mengabdi/menyembah)
  • Wa  iyyaaka  asta’iin (dan hanya kepada-Mu  lah aku mohon pertolongan)
  • Ihdiish shiroothol  mustaqiim (tunjukkanlah aku  jalan yang lurus)
Kenapa kok tetap membaca kalimat yang menggunakan subyek “na” (dari ‘nahnu’; kami), meski pun kita sedang sholat seorang diri ?
Inilah salah satu makna yang tersirat dalam surat Al-Fatihah (Pembukaan). Surat Al-Fatihah ternyata menegaskan bahwa seorang muslim adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual.

Seorang muslim dalam keseluruhan gerak hidupnya di tuntut untuk berperan sebagai makhluk sosial, ketimbang sebagai makhluk individual. Sejalan dengan ini, seorang muslim berkewajiban untuk turut memikirkan dan menangani persoalan masyarakat di lingkungan sosialnya.
Inilah “Deklarasi makhluk Sosial” yang tersirat dalam surat Al-fatihah. Bisa saja seorang muslim rajin melaksanakan sholat wajib dan sunat, rajin mengaji Al-Qur’an, berkali-kali pergi haji, menghindari perbuatan dosa, pokoknya bisa disebut orang sholeh.
Namun sangat disayangkan masyarakat disekitarnya masih dilanda kemungkaran, kemiskinan, kebodohan dan tata sosial yang masih bobrok. Jika si muslim sholeh ini tak peduli dengan kondisi masyarakat ini, dan tidak melakukan apa pun untuk membantu menanganinya, bisa dikatakan dia seorang muslim yang egois.
Dia hanya memikirkan kesholehan dirinya sendiri dihadapan Alloh, tapi tidak memperdulikan berbagai faktor yang menjadi penyebab ke tidak sholehan pada masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian sikap dan perilaku seorang muslim yang anti sosial, bisa dikatakan bertentangan dengan nafas surat Al-Fatihah.
Na’udzu billah tsumma na’udzu billah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar