Kamis, 27 Juni 2013

Pernikahan Seorang Santri



Sekitar 40 tahun yang lalu saat Wa Oding nyantri,  Kiyai berkisah tentang seorang santri yang sangat tekun mempelajari hadis dan ilmu hadis. Ia sangat teguh dalam berpegang terhadap keshahihan hadis. Kisah kiyai itu sebenarnya dimaksudkan sebagai motivasi terhadap santri-santrinya yang kurang serius mempelajari hadis dan ilmu hadis.
Al-Kisah
Pada suatu hari, seorang santri yang tekun mempelajari hadis dan ilmu hadis hendak menikah. Ia ingin mengamalkan hadis Nabi saw: An-Nikâhu sunnatî faman raghiba ‘an sunnatî falaysa minnî, artinya: “Menikah itu adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”
Awalnya ia meneliti keshahihan itu juga bertanya pada gurunya. Kesimpulannya hadis itu shahih bahkan mutawatir. Sang santri pun menentukan hari untuk melangsungkan pernikahannya dengan calon istri pilihannya dan pilihan orang tuanya. Kemudian terjadilah pernikahan yang Islami.
Sang santri sangat fanatik dengan hadis yang ia yakini keshahihannya, tanpa memperdulikan tradisi, situasi dan ocehan orang lain. Yang penting baginya menjalankan hadis dan sunnah Nabi saw.
Pada malam pertama pernikahannya, ia berkata dalam hatinya: saya harus memulai hubunganku dengan istriku berdasarkan hadis dan sunnah Nabi saw. Saat akan mulai menggauli istrinya ia berkata dalam hatinya bahwa Rasulullah saw bersabda “Khayrul umûr awsathuhâ”, artinya: urusan yang terbaik itu adalah yang di tengah-tengah.
Ia mulai mengukur tubuh istrinya sesuai dengan bunyi hadis itu, lalu ia menggauli istrinya. Ternyata, berkali-kali tidak berhasil masuk sebagaimana mestinya. Ia bergumam dalam hatinya: istriku benar-benar gadis. Lalu ia berkata pada istrinya: Istriku sayang, kamu benar-benar gadis. Istrinya berbisik ke telinga suaminya: Mas, itu salah kurang ke bawah sedikit. Sang suami membalas bisikannya: Tidak, ini benar berdasarkan hadis Nabi saw: Yang di tengah-tengan itu urusan yang paling baik. Terjadilah diskusi antara dua pasangan penganten baru soal hadis dan hal yang faktual.
Karena semalam suntuk tak berhasil menggauli istrinya, maka esok pagi ia datang ke gurunya untuk mempertanyakan keshahihan hadis itu. Ia bertanya kepada gurunya: Kiyai, shahihkah hadis yang berbunyi: Khayrul umuri awsathuha? Shahih, mengapa? Jawab sang guru. Tadi malam saya praktekkan hadis itu pada istri saya, tidak berhasil. Sang guru tersenyum lalu menjawab: Oh, kalau dipraktekkan pada urusan yang itu, harus ditambah lagi satu jengkal ke bawah. Sang santri diam, kemudian pulang. Ala kulli hal, setelah mempraktekkan nasehat gurunya ia berhasil melakukan hubungan dengan istrinya, dan istrinya tersenyum.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar