Sekitar 40 tahun yang lalu saat Wa Oding nyantri, Kiyai berkisah tentang seorang santri yang
sangat tekun mempelajari hadis dan ilmu hadis. Ia sangat teguh dalam berpegang terhadap
keshahihan hadis. Kisah kiyai itu sebenarnya dimaksudkan sebagai motivasi
terhadap santri-santrinya yang kurang serius mempelajari hadis dan ilmu hadis.
Al-Kisah
Pada suatu hari, seorang santri yang tekun mempelajari hadis dan ilmu hadis hendak menikah. Ia ingin mengamalkan hadis Nabi saw: An-Nikâhu sunnatî faman raghiba ‘an sunnatî falaysa minnî, artinya: “Menikah itu adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”
Pada suatu hari, seorang santri yang tekun mempelajari hadis dan ilmu hadis hendak menikah. Ia ingin mengamalkan hadis Nabi saw: An-Nikâhu sunnatî faman raghiba ‘an sunnatî falaysa minnî, artinya: “Menikah itu adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”
Awalnya ia meneliti keshahihan itu juga bertanya pada gurunya. Kesimpulannya
hadis itu shahih bahkan mutawatir. Sang santri pun menentukan hari untuk
melangsungkan pernikahannya dengan calon istri pilihannya dan pilihan orang
tuanya. Kemudian terjadilah pernikahan yang Islami.
Sang santri sangat fanatik dengan hadis yang ia yakini keshahihannya, tanpa
memperdulikan tradisi, situasi dan ocehan orang lain. Yang penting baginya
menjalankan hadis dan sunnah Nabi saw.
Pada malam pertama pernikahannya, ia berkata dalam hatinya: saya harus
memulai hubunganku dengan istriku berdasarkan hadis dan sunnah Nabi saw. Saat
akan mulai menggauli istrinya ia berkata dalam hatinya bahwa Rasulullah saw
bersabda “Khayrul umûr awsathuhâ”, artinya: urusan yang terbaik itu adalah yang
di tengah-tengah.
Ia mulai mengukur tubuh istrinya sesuai dengan bunyi hadis itu, lalu ia
menggauli istrinya. Ternyata, berkali-kali tidak berhasil masuk sebagaimana
mestinya. Ia bergumam dalam hatinya: istriku benar-benar gadis. Lalu ia berkata
pada istrinya: Istriku sayang, kamu benar-benar gadis. Istrinya berbisik ke
telinga suaminya: Mas, itu salah kurang ke bawah sedikit. Sang suami membalas
bisikannya: Tidak, ini benar berdasarkan hadis Nabi saw: Yang di tengah-tengan
itu urusan yang paling baik. Terjadilah diskusi antara dua pasangan penganten
baru soal hadis dan hal yang faktual.
Karena semalam suntuk tak berhasil menggauli istrinya, maka esok pagi ia
datang ke gurunya untuk mempertanyakan keshahihan hadis itu. Ia bertanya kepada
gurunya: Kiyai, shahihkah hadis yang berbunyi: Khayrul umuri awsathuha? Shahih,
mengapa? Jawab sang guru. Tadi malam saya praktekkan hadis itu pada istri saya,
tidak berhasil. Sang guru tersenyum lalu menjawab: Oh, kalau dipraktekkan pada
urusan yang itu, harus ditambah lagi satu jengkal ke bawah. Sang santri diam,
kemudian pulang. Ala kulli hal, setelah mempraktekkan nasehat gurunya ia
berhasil melakukan hubungan dengan istrinya, dan istrinya tersenyum.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar