Minggu, 30 Juni 2013

Tak Boleh Menikahi Gadis Sekampung



Bagi santri Pesantren Nurul Hasanah, menjadi rutinitas setiap akhir tahun, pesantren mengadakan acara bertajuk “Akhiru as-Sanah”. Kali ini yang menjadi istimewa adalah pelepasan kelas III Aliyah setempat.
Pagi menjelang siang, lokasi acara sudah mulai ramai. Tak lama kemudian, kursi-kursi sudah penuh, bahkan ada tamu undangan yang tidak kebagian kursi. Acara langsung dimulai. Sampailah pada acara tausiyah atau petuah-petuah dari Pengasuh Pesantren setempat, KH. Abdul Adim Bafaqih Almandury. Seperti biasa, Kiai Adim dalam ceramahnya selalu tampil renyah dengan dalil-dalil agama untuk bekal-bekal santri.
Dengan menarik nafas panjang, Kiai Adim tampil wibawa berpesan pada santrinya: “Entar kalian semuanya, kalo udeh pada pulang ke kampungnya masing-masing dan mungkin sebagian ada yang akan menikah. Pesan saya, khususnya kepada yang akan menikah, agar jangan menikah dengan gadis sekampung”.
Karuan suasana menjadi gaduh, antar santri saling bisik-bisik dan sebagian lagi rupanya mempersoalkan statement pengasuh pesantren. “Mengapa Ustadz melarang menikahi gadis sekampung, padahal kan di dalam kitab-kitab fiqih menikah dengan gadis sekampung diperbolehkan?,” tanya Mardi pada teman santri sebelahnya.
“Eh gimana nih ya, kok kiai kita bilang gak boleh nikah ama gadis sekampung, padahal ane uda tunangan ama anak kampung sendiri,” gerundel Toni pada temannya.
Usai acara ramai-ramai para santri mendatangi Kiai Adim untuk tabayyun. “Kiai apa benar yang dikatakan kiai tadi?”, tanya seorang santri mewakili yang lain. Kiai Adim tenang saja menerima cecaran pertanyaan santrinya, dengan tenang beliau menjawabnya: “Gini ya, adik-adik… masa sih kalian mau mengawini gadis sekampung? Gadis satu kampung kan banyak buanget, apa kalian sanggup memberi nafkah kepada mereka semua? Apalagi Islam kan melarang menikahi wanita lebih dari 4 orang,” ujar Kiai Adim. “Oh begitu maksud Kiai… kirain ndak boleh ama tetangga sendiri,” ujar santri hampir serempak dan gerr, mereka ketawa semua.
(Tamzirien)
Sumber : Majalah Risalah NU no.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar