Senin, 24 Juni 2013

Wali Songo Bagian V : Sunan Bonang



Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim. Beliau adalah putra pasangan Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.

Silsilah
Sunan Bonang merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW. Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad, yaitu:
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin
Ali Uradhi bin
Ja'afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad)

Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Paku (Sunan Giri) sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai, seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran.

Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedangkan Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban.

Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Beliau banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang (sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya), pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Mereka akhirnya banyak yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang - tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Karya sastra Sunan Bonang yang berupa Suluk dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama sehingga saat ini disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim.
Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'.

Peran Sunan Bonang semasa hidupnya
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Ketika itu, beliau dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Beliaulah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit.

Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak.

Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok bernama Kebondanu dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending, Dharma dan irama Mocopat.

Kontroversi di seputar wafatnya Sunan Bonang
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan dimakamkan di Bonang, Tuban, dan di Bawean (ada dua makam). Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean

Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di Tuban. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya yang di kota Tuban.


Makam Sunan Bonang terdapat di belakang Masjid Agung Tuban 
(sebelah selatan masjid Agung Tuban) 
atau sebelah barat alun-alun kota Tuban
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar