Oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
(Bahkan) Orang yang
paling minim tingkat ilmunya tidak meragukan keluasan rahmat Allah
Subhanahuwata’ala di dunia ini. Setiap makhluk merasakan dan mendapatkannya.
Namun, semua itu tidaklah sebanding dengan keluasan rahmat-Nya di akhirat
kelak.
Di dunia, Allah
Subhanahuwata’ala menurunkan satu dari seratus rahmat-Nya dan 99 rahmat
dipersiapkan bagi orang yang beriman kelak di hari kiamat. Tentu merugi dan
celaka jika seseorang terlalaikan oleh satu rahmat dan melupakan rahmat yang
akan didapatkan kelak di akhirat.
Seseorang dengan mudah
bisa mendapatkan keluasan rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia, akan tetapi
untuk mendapatkan yang 99 tersebut membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang
tidak sedikit. Dengan mengetahui luasnya rahmat Allah Subhanahu wata’ala
di dunia ataupun di akhirat, menjadikan seseorang berani sekaligus
berharap (raja’) di dalam hidup.
Berani untuk menghadapi segala risiko dalam usaha meraih rahmat yang
luas tersebut dan berharap karena Allah Yang Maha Pemurah akan mencurahkan
rahmat- Nya kepada siapa pun.
Di sinilah letak
keistimewaan hidup orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Kala menjalani hidup, dadanya senantiasa lapang dan luas, karena dia mengetahui
rahasia hidup ini dan rahasia kebahagiaan di atasnya. Mereka berani dalam
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam menjalankan roda ketaatan
dan berharap dalam keluasan rahmat, pengampunan, dan kedermawanan Allah
Subhanahuwata’ala.
Namun orang orang yang
beriman tersebut sebelum menjadi orang yang berani dan berharap, mereka telah
berkarya besar sembari menyandarkan diri kepada Allah Subhanahuwata’ala dalam
segala usahanya.
YANG MENJADIKAN
DADA LAPANG
1. Tauhid
Al-Imam Ibnu Qayyim
rahimahumullah mengatakan, “Hal terbesar yang akan menjadikan dada lapang
adalah ketauhidan. Berdasarkan kesempurnaannya, kekuatannya, dan bertambahnya,
kelapangan dada akan mengalami yang serupa. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
“Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (
menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang
yang membatu hatinya)?”
(az-Zumar: 22)
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)
Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah Subhanahuwata’ala kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit.” (al-An’am 125)
Petunjuk dan tauhid
adalah sebab yang paling besar bagi lapangnya dada, sebagaimana syirik dan
kesesatan sebagai sebab terbesar dada menjadi sempit dan sulit.
2. Iman
Termasuk perkara yang
akan menjadikan dada itu lapang adalah cahaya iman yang diletakkan oleh Allah
Subhanahuwata’ala di dalam hati. Dengannya dada menjadi lapang, menjadikan hati
selalu dalam kebahagiaan. Jika cahaya iman tersebut sirna, dadanya akan menjadi
sempit dan sulit, berada dalam kungkungan yang paling sempit dan sulit. Seorang
hamba akan mendapatkan kelapangan dada sesuai dengan bagian yang dia dapatkan
dari cahaya tersebut, sebagaimana halnya cahaya yang bisa diraba serta
kegelapan yang bisa di indra akan menjadikan dada lapang dan dada sempit.
3. Ilmu
Ilmu akan menjadikan
dada lapang dan menjadikannya luas, bahkan melebihi luasnya dunia. Sementara
itu, kejahilan akan mewariskan dada yang sempit, kerdil, dan tertutup. Di saat
ilmu seorang hamba bertambah luas, maka bertambah lapang dadanya.
Tentu saja, hal ini
tidak mencakup semua ilmu, tetapi hanya ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ilmu (agama) yang bermanfaat. Pemilik ilmu
yang bermanfaat adalah orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya,
paling baik akhlaknya, dan paling bagus kehidupannya.
4. Bertobat
kepada Allah Subhanahu wata’ala
Bertobat kepada Allah
Subhanahuwata’ala, mencintai- Nya setulus hati, mempasrahkan diri kepada-Nya,
dan bernikmat-nikmat beribadah kepada-Nya, akan menjadikan dada lapang.
Sebagian mereka terkadang mengucapkan, “Jika saya di dalam surga dalam kondisi
ini, niscaya saya berada dalam kehidupan yang baik.”
5. Cinta
kepada Allah Subhanahu wata’ala
Sungguh, cinta kepada
Allah Subhanahuwata’ala memiliki pengaruh menakjubkan bagi lapangnya dada,
baiknya jiwa, dan lezatnya hati. Tidak ada yang mengetahuinya selain orang yang
bisa merasakannya. Saat cinta itu kuat dan keras, niscaya dada itu akan menjadi
lapang dan luas. Tidaklah dada menjadi sempit kecuali tatkala melihat
orang-orang yang telanjang dari semuanya ini. Memandang mereka akan menjadikan
mata kita penuh kotoran dan bergaul dengan mereka menjadikan ruh kita panas.
Termasuk perkara besar
yang akan menyebabkan dada sesak adalah berpaling dari Allah Subhanahuwata’ala,
bergantungnya hati kepada selain Allah Subhanahuwata’ala, lalai dari menginga
Allah Subhanahuwata’ala, dan mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala. Barang
siapa mencintai sesuatu selain Allah Subhanahuwata’ala, niscaya Allah
Subhanahuwata’ala akan mengazabnya dengan sesuatu (selain Allah) tersebut, yang
akibatnya hatinya terbelenggu dalam mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala.
Akhirnya, tidak ada orang yang paling celaka di muka bumi ini daripada dirinya,
tidak ada yang paling tertutup akalnya, yang paling jelek kehidupannya, dan
yang paling lelah hati daripada dirinya.
6. Zikir
kepada Allah Subhanahuwata’ala
Zikir kepada Allah
Subhanahuwata’ala dalam segala kondisi dan di setiap tempat. Maka dari itu,
zikir itu memiliki pengaruh menakjubkan terhadap lapangnya dada dan nikmatnya
hati. Tentunya, sikap lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam
menyempitkan dada, terbelenggu dan tersiksanya.
7. Berbuat
Baik kepada Makhluk
Berbuat baik kepada
setiap makhluk dan memberikan manfaat kepada mereka dengan segala yang
memungkinkan seperti dengan harta, kedudukan, dan yang bermanfaat untuk badan
(jasmani), serta berbagai bentuk kebaikan lainnya. Seorang yang dermawan dan
senang berbuat baik adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling baik
jiwanya, dan yang paling tenteram hatinya.
Sementara itu, sifat
bakhil (pelit) yang tidak ada padanya kebaikan adalah orang yang paling sempit
dadanya, paling jelek kehidupannya, serta yang paling besar keperihan dan
kesedihan hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mempermisalkan dalam riwayat yang sahih orang yang bakhil dan rajin bersedekah
seperti halnya dua orang yang memiliki dua tameng besi.
Di saat orang yang
gemar bersedekah mengeluarkan sedekahnya, maka melebarlah tameng itu dan
meluas, hingga menutupi pakaian dan anggota badannya. Adapun apabila orang
bakhil ingin bersedekah, tetaplah setiap lingkaran besi pada posisinya,
tidak meluas. Demikianlah permisalan orang yang beriman dan gemar untuk
bersedekah, lapang hatinya. Demikian pula pemisalan orang yang bakhil, sempit
dadanya dan tersekap hatinya.
8. Keberanian
Seseorang yang memiliki
jiwa pemberani akan memiliki dada yang lapang, luwes perangainya, dan terbuka
hatinya. Sementara itu, seorang yang penakut berada dalam kondisi dada yang
sempit dan yang paling kerdil hatinya. Dia tidak memiliki kebahagiaan, kesenangan,
kelezatan, dan kenikmatan selain sebagaimana halnya binatang.
Oleh karena itu,
kebahagiaan ruh, kelezatannya, kenikmatannya, dan kewibawaannya, menjadi
sesuatu yang haram didapatkan orang yang memiliki sifat penakut, sebagaimana
halnya terhalangi bagi orang yang bakhil, orang yang berpaling dari Allah
Subhanahuwata’ala, lalai dari berzikir kepada-Nya, jahil tentang Allah
Subhanahuwata’ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat- Nya, dan tentang agama-Nya,
serta menggantungkan hatinya kepada selain Allah Subhanahuwata’ala.
Semua bentuk kenikmatan
ini akan menjadi kebun dari salah satu kebun surga di dalam kubur. Demikian
halnya kesempitan dada dan kerdilnya hati akan berubah menjadi azab dan
belenggu di dalam kubur. Keberadaan seseorang di alam kubur bagaikan keberadaan
hati di dalam dada, akankah bernikmat atau mendapat siksaan, terbelenggu atau
mendapatkan kemerdekaan? Tidak ada yang menjadi penghalang jika dada tersebut
menjadi lapang, sebagaimana tidak ada yang akan menjadikan dada tersebut sempit,
karena semuanya itu akan sirna dengan sirnanya sebab-sebabnya. Segala sifat
yang akan menyentuh dan hinggap di dalam hati, maka itulah yang akan menjadikan
dada tersebut lapang atau sempit. Inilah yang menjadi barometernya,
wallahulmusta’an.”(Zadul Ma’ad 2/23)
Berani dan
Berharap, Sebuah Pengorbanan dan Perjuangan
Berani dan berharap
dalam hidup adalah dua senyawa yang jika bertemu dan berbaur, akan menjadi
sebuah akhlak yang sangat terpuji. Sifat berani adalah sifat terpuji yang
mengandung segala akhlak yang terpuji lainnya.
Keberanian adalah buah
dari iman seseorang kepada Allah Subhanahuwata’ala. Terlebih jika dia mengimani
adanya hari kebangkitan dan hari kiamat. Allah Subhanahuwata’ala telah memuji
sifat berani di jalan-Nya sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
dari sahabat Abu Musa radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dikatakan, ‘Ya
Rasulullah, seseorang berperang dengan keberanian, berperang karena kebangsaan,
berperang dengan landasanriya, siapakah diantara mereka Yang benar-benar
berjuang di jalan Allah Subhanahuwata’ala?’
Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan
kalimat Allah Subhanahuwata’ala, sesungguhnya dialah yang berada di atas jalan
Allah Subhanahuwata’ala.” Kesempurnaan sifat
keberanian itu ada pada sifat al-hilm yang artinya sabar, tidak tergesa-gesa,
cerdas, dan tangkas, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
“Bukanlah yang dinamakan kuat itu adalah orang yang bisa
membanting lawan, tetapi yang dikatakan kuat adalah orang yang bisa menahan diri
tatkala marah.” (Majmu’ Fatawa
15/432)
Berharap adalah buah
dari ilmu tentang sifat rahmat Allah Subhanahuwata’ala, seperti pengampunan,
kelembutan, maaf, dan kebaikan. Berharap terhadap pahala yang ada di sisi-Nya termasuk
amalan hati yang paling besar dan pendorong kepada ketaatan yang paling kuat.
Kekuatan berharap di dalam hati tergantung pada kekuatan ilmu kita kepada Allah
Subhanahuwata’ala dan sifat-sifat-Nya.
Ibnul Qayyim
rahimahumullah berkata , “Kuatnya berharap itu tergantung pada kekuatan
pengetahuan tentang Allah Subhanahuwata’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya,
serta pengetahuan bahwa rahmat Allah Subhanahuwata’ala mengalahkan murka-Nya.
Tanpa ruh berharap, niscaya akan lenyaplah ubudiyah hati dan anggota badan.
Akan hancur pula tempat-tempat menyebut nama-nama Allah Subhanahuwata’ala.”
Berharap itu adalah
sebuah ibadah yang tidak boleh lepas dari kehidupan seorang muslim, baik saat
melakukan kebaikan maupun melakukan kejelekan. Saat dia melakukan kebaikan, dia
berharap bahwa amalnya diterima, yang wajib atau yang sunnah. Adapun saat dia
melakukan kejelekan, dia berharap diterima tobatnya dan dimaafkan
kesalahan-kesalahannya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)
Katakanlah,“Hai hamba-hamba- Ku yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Alah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (az-Zumar: 53)
Maksud ayat ini adalah
bagi orang yang bertobat. Oleh karena itu, Allah Subhanahuwata’ala mengumumkan
bagi orang yang berbuat dosa, apa pun perbuatan dosa tersebut. Artinya, Allah
Subhanahuwata’ala akan mengampuni dengan taubat yang baik, bagi siapa pun yang
berdosa atas dosa apa pun, dan ini khusus taubat sebagai sebab pengampunan.
Sampai-sampai ulama berselisih pendapat dalam hal mana yang lebih utama antara
dua orang yang berharap tersebut. Sebagian mereka mengatakan lebih utama
berharapnya orang yang berbuat baik, karena kuatnya sebab-sebab berharap itu
pada dirinya.
Sebagian lagi
mengatakan yang lebih utama adalah berharapnya orang yang berbuat salah untuk
bertobat karena berharapnya itu bersih dari amalan yang jelek dan selalu
dibarengi melihat kesalahannya. Namun, yang tampak adalah keutamaan tersebut
tidak ditinjau dari sisi berharap itu, tetapi keutamaan tersebut sangatlah
tergantung pada apa yang terdapat di dalam hati pemiliknya yaitu sifat takwa di
saat dia berharap. Barang siapa lebih bertakwa, tentu berharapnya lebih afdal,
apakah di saat dia berbuat baik ataupun berbuat salah. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian
disisi Allah Subhanahu wata’ala alah orang yang paling takwa diantara kalian.” (al-Hujurat: 13)
Dari penjelasan di
atas, tampak jelas tentang berharap yang terpuji berupa bentuk berharapnya
orang yang berbuat amalan agar amalnya diterima, atau berharapnya orang yang
bertaubat agar taubatnya diterima. Adapun berharap yang kosong dari karya nyata
(amal) dan terus dalam kemaksiatan lalu bersandar kepada pengampunan Allah
Subhanahuwata’ala maka sikap ini adalah maghrur (tertipu) dan merasa aman dari
azab Allah Subhanahuwata’ala.”
“Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak
terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang
merugi.” (al- A’raf: 99)
Sebab, hukuman orang
yang berbuat maksiat adalah istidraj (dibiarkan) atas kemaksiatannya, pada
akhirnya dibinasakan setelahnya.” (Atsar al- Matsalul al-‘A’la hlm. 25)
Ilmu,
Fondasi Akhlak yang Agung
Ibnu Qayyim
rahimahumullah berkata , “Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan Allah
Subhanahuwata’ala dalam hal menolak mudarat, mendatangkan manfaat, memberi,
tidak memberi, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan akan
membuahkan ubudiyah tawakal batiniah.
Konsekuensi tawakal dan
buahbuahnya jelas sekali. Pengetahuan dia tentang Allah Maha Mendengar, Melihat,
dan tentang ilmu Allah Subhanahuwata’ala yang tidak tersembunyi bagi-Nya
sesuatu pun yang paling kecil, baik di langit maupun di bumi. Allah
Subhanahuwata’ala mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak. Allah Subhanahu
wata’ala juga mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang tersembunyi
di dalam dada. Semua ini akan membuahkan terjaganya lisan, anggota badan, dan
pikirannya dari segala yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Dia menjadikan semua
anggota tubuhnya tergantung kepada apa yang dicintai oleh Allah
Subhanahuwata’ala dan diridhai-Nya. Semua ini juga akan melahirkan rasa malu di
dalam batin yang akan membuahkan sikap menjauhkan diri dari segala yang
diharamkan dan segala yang jelek. Mengenal Allah Subhanahu wata’ala bahwa
dia adalah Dzat yang Mahakaya, dermawan, mudah memberi, banyak kebaikannya, dan
penyayang; akan melahirkan harapan yang luas lalu membuahkan segala bentuk
ubudiyah lahiriah dan batiniah.
Semuanya tergantung
pada pengetahuan dan ilmunya. Demikian pula pengetahuan seorang hamba tentang
keagungan Allah Subhanahuwata’ala, kemuliaan-Nya akan membuahkan ketundukan,
ketenteraman, dan kecintaan yang akan melahirkan segala bentuk pengabdian
lahiriah kepada Allah Subhanahu wata’ala dan itulah konsekuensinya.
Demikian pula tatkala
berilmu tentang kesempurnaan dan keindahan, serta ketinggian sifatsifat- Nya
akan melahirkan kecintaan yang khusus dalam semua bentuk ubudiyah. Oleh karena
itu, semua bentuk pengabdian akan kembali kepada namanama dan sifat-sifat Allah
Subhanahu wata’ala . Semua bentuk peribadahan terikat dengan semua di atas
sebagaimana terikatnya ciptaan dengan-Nya.
Di alam ini, seluruh
ciptaan dan perintah Allah Subhanahuwata’ala adalah konsekuensi dari nama-nama
dan sifatsifat- Nya. Allah Subhanahuwata’ala tidak akan menjadi mulia karena
ketaatan mereka dan tidak akan hina karena kemaksiatan mereka. Renungilah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih al-Bukhari, yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayatkan dari Rabbnya,
“Hai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak mampu
berbuat mudarat terhadap-Ku hingga mencelakai- Ku. Kalian juga tidak dapat
berbuat kemanfaatan bagi-Ku hingga memberiku manfaat.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkannya setelahnya,
“Hai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan
kesalahan dimalam hari dan sianghari, sementara Aku adalah pengampun dosa, maka
minta ampunlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.”
Ini mengandung makna
bahwa apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahuwata’ala terhadap mereka dalam hal
mengampuni kesalahankesalahan mereka, dikabulkannya permintaan mereka, dan
dilepaskannya mereka dari segala bentuk malapetaka, tidak berarti Allah
mengambil manfaat darimereka.(Madarijus Salikin 2/90)
Koreksilah
Berharapmu dan Perbaruilah Cintamu
Berharap itu sumbernya
adalah menyaksikan janji-janji Allah Subhanahu wata’ala dan berbaik
sangka kepada Allah Subhanahuwata’ala, serta menyaksikan segala apa yang
dipersiapkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagi orang yang mengutamakan Allah
Subhanahu wata’ala , Rasulullah n, dan negeri akhirat. Berharap menjadikan
petunjuk sebagai hakim terhadap hawa nafsunya, dan wahyu atas ra’yu-nya
(pendapatnya), sunnah atas bid’ah, dan menjadikan hakim segala apa yang telah
dilalui oleh para sahabat atas adat istiadat yang berlaku.
Sementara itu, cinta
itu sumbernya adalah menyaksikan nama-nama Allah Subhanahuwata’ala dan
sifat-sifat-Nya sebagaimana menyaksikan segala nikmat dan pemberian-Nya.
Apabila mengingat dosa-dosanya, ia berbalut rasa takut; apabila mengingat
rahmat Allah Subhanahuwata’ala, luas pengampuan, dan maaf-Nya, dia berbalut
rasa berharap; dan apabila mengingat keindahan dan keagungan Allah Subhanahu
wata’ala , kesempurnaan-Nya, kebaikan dan ikmat-Nya, ia akan berbalut rasa
cinta.
Oleh karena itu,
hendaklah setiap hamba menimbang imannya dengan tiga hal ini (takut, berharap,
dan cinta) agar dia mengetahui kadar iman yang dimilikinya. Sesungguhnya, hati
itu terfitrah dengan Ramah Lingkungan cinta kepada keindahan dan cinta kepada
Pemberi Keindahan, dan Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat Yang Mahaindah,
keindahan yang sempurna dari segala sisi.
Indah pada Dzat-Nya,
indah pada sifat-Nya, indah pada perbuatan-perbuatan-Nya, dan indah pada
nama-nama-Nya. Jika berkumpul keindahan seluruh makhluk pada seseorang lalu
dibandingkan dengan keindahan Allah Subhanahu wata’ala , perbandingannya lebih
lemah daripada pancaran cahaya lentera yang paling lemah di hadapan pancaran
sinar matahari. (Madarijus Salikin 3/288)
Sifat berharap yang
penuh kejujuran memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang
muslim. Berharap akan membangkitkan dan mendorong untuk bertobat dengan benar,
mendorong untuk beramal saleh berharap keberuntungan dengan surga Allah
Subhanahuwata’ala, melihat-Nya, dan mendengar pembicaraan-Nya. Berharap yang
jujur akan menjaga akidah seorang muslim dari bergantung kepada makhluk
mengharapkan keberkahan dari mereka, atau syafaat, atau jalan keluar dari
malapetaka. Oleh karena itu, pada kehidupan seorang muslim yang jujur, Anda
tidak menjumpai penampilan-penampilan syirik dalam harapan, seperti mencari
berkah melalui kedudukan para nabi, dengan para wali, dan melalui
kuburan-kuburan mereka; atau mencari berkah di sumber mata air, gua, atau
tempat sejenisnya.
Sebab, seorang muslim mengetahui dengan
keyakinan yang benar bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat yang tunggal
dalam hal mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Dia mengimani bahwa Allah
Subhanahuwata’ala adalah satu-satunya Dzat tempat menggantungkan harapan segala
yang dicita-citakannya berupa kebaikan dunia dan akhirat.
(Atsaral-Matsalulal-A’la hlm. 25).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar