Sabtu, 22 Juni 2013

Memahami prinsip dasar Islam - Laa ilaaha ilallah

Oleh: Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Pembahasan edisi kali ini dimulai dari prinsip yang paling mendasar dari ajaran Islam, sebagai pengingat bagi yang lupa, nasehat bagi yang lalai dan meluruskan bagi yang salah dalam memahaminya.

Dalam rangka menjalankan perintah Allah:
فَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ…الذاريات: 55[
Maka ingatkanlah, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum muk-minin. (adz-Dzariyat: 55)
Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar Radiyallahu ‘anhu , beliau berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak ada pada-nya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa di bulan Ramadahan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”. (HR. Muslim juz 1 hal 133)
Inilah dasar-dasar Islam.
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.
Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kali-mat tersebut. Kalimat ini mengandung per-nyataan bahwa tidak ada yang berhak dii-badahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwen-sinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’) dan penetapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus ber-sama yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa peniadaan adalah paga-nisme dan kesyirikan.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid لاإله إلا الله .
Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih. Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله.
Akan tetapi, seorang yang percaya bahwa Allah adalah penguasa dan penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ (الزخرف: 9)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ. (الزخرف: 87)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan me-reka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?. (az-Zukhruf: 87)
قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُنَّ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْئٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يجُاَرُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تُسْحَرُوْنَ. (المؤمنون: 84-89)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa.” Katakanlah: “Siapakah yang ada di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84-89)
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah -pun terkandung konsekwensi tauhid uluhiyah juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan orang yang mengerti bahwa Allah sebagai penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya dengan kalimat اَفلا تسحرون (maka dari jalan manakah kamu ditipu?)
Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuktikan dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang ham-ba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih.
Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena sebagian ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazi-lah dan asy’ariyah dan sejenisnya menerima lafadz-lafadznya tetapi menolak makna-nya dengan tahrif (penyimpangan makna-nya) atau tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).
Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat يد (Tangan) bagi Allah tetapi mereka mengatakan bahwa يد  maknanya bukan tangan tetapi kekuatan. Mereka menerima sifat غضب (marah) tetapi mereka mengatakan bahwa غضب maknanya bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima lafadznya  tetapi menyimpangkan maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.
Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan makna dari lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki يد tapi kami tidak tahu maknanya; Allah memiliki sifat غضب. Tetapi kami tidak tahu maknanya, kami serahkan semua-nya kepada Allah. Dan mereka tidak mau mengartikan يد dengan tangan dan غضب dengan marah.
Pendapat mereka ini bertentangan de-ngan hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَكُمْ تَعْقِلُوْنَ. …]يوسف: 2[
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya. (Yusuf: 2)
b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. ]الشورى: 11[
Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi maha Melihat. (asy-Syura: 11).
Maka kita harus meyakini Allah memiliki يد (tangan), tetapi tidak sama dengan tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat غضب (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang mengata-kan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita. Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wahyu telah berhenti, Rasulullah I telah wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya?!!!
Pertanyaan كيْفَ. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat di antaranya Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –tepatnya mempertanyakan—bagaimana istiwa’nya Allah di atas arsy-Nya. Beliau rahimahulllah menjawab:
اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ وَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ مَجْلِسِهِ.
al-Istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya Allah) nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya.
Dengan demikian dalam beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita harus memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.

(Dinukil dari risalah dakwah "Manhaj Salaf", dengan judul asli "Prinsip Dasar Islam : Makna Laa ilaaha ilallah", edisi II)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar