Kamis, 18 Juli 2013

Nasihat Indah Orang-orang Sholeh di Masa Lalu



Keberkahan Pada Ucapan Ulama Salaf
Ditanyakan kepada Hamdûn bin Ahmad Al-Qashshâr, “Mengapa ucapan para salaf (orang soleh di masa lalu)  lebih bermanfaat dari ucapan kita?”
Hamdûn menjawab, “Karena mereka berbicara untuk keagungan Islam, keselamatan jiwa-jiwa (manusia), dan (meraih) ridha Ar-Rahman. Sedang kita berbicara untuk kemuliaan diri sendiri, mencari dunia, dan penerimaan (pujian) manusia.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Hilyah dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân]

Kalimat-kalimat Indah di awal Pemerintahan Abu Bakr
Setelah terangkat menjadi Khalifah, Abu Bakr Ash-Shiqqîq radhiyallahu ‘anhu berkhutbah,
“Amma Ba’du, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah dijadikan pemimpin terhadap kalian, sedang saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Apabila saya berbuat baik, bantulah saya. Apabila saya berbuat jelek, luruskanlah saya. Kejujuran adalah amanah dan dusta adalah khiyanat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku hingga saya memberikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat di tengah kalian adalah lemah di sisiku hingga saya mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan memukul mereka dengan kehinaan. Tidaklah suatu kekejian tersebar di suatu kaum kecuali Allah akan meratakan mereka dengan bala. Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya. Apabila saya bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak ketaatan untukku terhadap kalian…”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dalam As-Sîrah]

Nasihat Imam Asy-Syafi’iy kepada Muridnya, Imam Al-Muzany
Imam Al-Muzany bercerita:
“Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang beliau wafat, lalu kubertanya, “Bagaimana keadaanmu pada pagi ini, wahai Ustadzku?”
Beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan perjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tahu: apakah diriku berjalan ke surga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan, atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku berkata, “Nasihatilah aku.”
Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertakwalah kepada Allah, permisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu, dan janganlah lupa bahwa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah segalah hal yang Dia haramkan, laksanakanlah segala perkara yang Dia wajibkan, dan hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Janganlah sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah kepadamu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang menzhalimimu, sambunglah (silaturrahmi dari)orang yang memutus silaturahmi terhadapmu, berbuat baiklah kepada siapapun yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketakwaan.”
Aku berkata, “Tambahlah (nasihatmu) kepadaku.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata percaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harapan adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai pakaianmu, shadaqah sebagai pelindungmu, dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tenang sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu, dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur`an sebagai juru bicaramu dengan kejelasan, serta jadikanlah Allah sebagai Penyejukmu. Barangsiapa yang bersifat seperti ini, surga adalah tempat tinggalnya.”
Kemudian, Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersya’ir,
“Kepada-Mu -wahai Ilah segenap makhluk, wahai Pemilik anugerah dan kebaikan-
 kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa
 Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku
 kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku
 Kurasa dosaku teramatlah besar, tetapi tatkala dosa-dosa itu
 kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-, ternyata maaf-Mu lebihlah besar
 Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus menerus
 Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan
 Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh Iblis
 bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu,Adam
 Kalaulah Engkau memaafkan aku, Engkau telah memaafkan
 seorang yang congkak, zhalim lagi sewenang-wenang yang masih terus berbuat dosa
 Andaikata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
 walaupun diriku telah engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku
 Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang,
 namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar “
[Tarikh Ibnu Asakir Juz 51 hal. 430-431]

Nasehat untuk Yang Meremehkan Dosa
Bilâl bin Sa’d rahimahullâh berkata,
“Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah terhadap siapa engkau bermaksiat.”
[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd]

Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Dari Yahya bin Abi Katsîr rahimahullah, beliau berkata,
“Ilmu itu tidaklah didapatkan dengan jasad yang santai.”
[Diriwayatkan oleh Muslim]

Sebab yang Menurunkan dan Mengangkat Musibah
Dari Ali bin Abu Thalib radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
“Tidaklah petaka turun, kecuali karena dosa, dan tidaklah petaka diangkat, kecuali dengan taubat.”
[Ad-Dâ` wa Ad-Dawâ` hal. 118]


Musibah pada Kendaraan dan Istri Karena Maksiat
Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyâdh,
“Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, hal tersebut aku ketahui (pengaruh jeleknya) dari akhlak kendaraan dan istriku.”
[Shaidul Khâthir karya Ibnul Jauzi dan Al-Jawâb Al-Kâfi karya Ibnul Qayyim]

Allah Menyiksamu Karena Menyalahi Sunnah
Imam Para Tabi’in, Sa’id bin Musayyab rahimahullah melihat seorang melakukan shalat sunnah dua raka’at setelah shalat subuh, kemudian Sa’id melarangnya. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah menyiksaku karena suatu shalat?!” Sa’id menjawab,
“Tidak, tapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah.”
[Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ad-Darimy dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwâ` 2/236]
 Di Antara Petaka Dosa
 Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,
“Sesungguhnya pada kebaikan terdapat sinar pada wajah, cahaya dalam hati, kelapangan dalam rezeki, kekuatan pada badan, dan kecintaan pada hati makhluk. Sesungguhnya pada kejelekan terdapat kegelapan pada wajah, gulita pada alam kubur dan hati, kelemahan pada badan, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian pada hati makhluk.”
[Al-Jawâb Al-Kâfy hal. 62]

Takwa adalah Jalan Keselamatan dari Fitnah
Dalam menghadapi fitnah, Thalq bin Habib menasihatkan agar berlindung dengan ketakwaan. Ketika ditanya, “Apa takwa itu?” Beliau menjawab,
“Takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah, mengharap rahmat Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, takut akan siksaan Allah.”
(Siyâr A’lam An-Nubalâ` dan selainnya)

Panah-Panah Kematian
Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid memintah nasihat ringkas, Abul ‘Atâhiyah menasihatinya dalam beberapa untaian syair,
“Janganlah merasa aman dari kematian dalam sekejam maupun senafas
walaupun engkau berlindung dengan tirai dan para pengawal.
Ketahuilah bahwa panah-panah kematian selalu membidik
setiap dari kita, yang berbaju besi maupun yang berperisai.
Engkau menghendaki keselamatan, sedang engkau tidak menempuh jalan-jalannya,
sesungguhnya perahu tidak akan berjalan di atas daratan kering.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 285]


Sunnah Allah Pada Suatu Kebenaran
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Kebenaran itu akan selalu menang dan mendapat ujian, maka janganlah
heran, sebab ini adalah sunnah Ar-Rahman (sunnatullah).”
[Al-Kâfiyah Asy-Syâfiyah 1/52 (Syarah Syaikh Shalih Al-Fauzan)]

Cara Mengenal Pendusta
Harun bin Sufyân Al-Mustamly bertanya kepada Imam Ahmad, “Bagaimana cara engkau mengetahui para pendusta?” Imam Ahmad menjawab, “Dengan (melihat) janji-janji mereka.”
[Dirwayatkan oleh Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil dan As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ`]

Juallah Dia, Walaupun Hanya dengan Harga Segenggam Debu
Muhammad bin Abdillah Al-Baghdâdy bersenandung,
“Apabila seorang kehilangan tiga (sifat),
Juallah dia, walaupun hanya dengan harga segenggam debu.
(Tiga sifat itu adalah) keselamatan hati, kejujuran jiwa,
dan menyembunyikan rahasia (orang lain) di dalam hati.”
[Raudhatul ‘Uqalâ` karya Ibnu Hibban hal. 53]

Mengukur Keikhlasan
Muhammad bin Abdawaih berkata, Saya mendengar Al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah berkata,
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya`, dan beramal karena manusia adalah kesyirikan. Ikhlas adalah Allah menyelamatkan engkau dari dua perkara tersebut.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asâkir, sebagaimana dalam kitab Al-Âtsâr Al-Wâridah ‘Anil Aimmah fi Abwâbil I’tiqâd 1/159]

Hakikat Kehidupan Hamba
Al-Marrudzy berkata, “Suatu hari aku masuk menjumpai (Imam) Ahmad, lalu saya bertanya, ‘Bagaimana engkau di pagi ini?’ Beliau menjawab, ‘Aku masuk di waktu pagi dalam keadaan Rabbku menuntut (diriku) untuk menunaikan kewajiban, Nabi-Nya menuntutnya untuk menunaikan sunnah, dua malaikat menuntutnya untuk memperbaiki amalan, jiwanya menuntut (mengikuti) hawa nafsu, Iblis menuntutnya untuk kekejian, Malakul Maut menuntut nyawanya, dan keluarganya menuntut nafkah.’.”
[Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’lâ 1/570, dengan perantara kitab Kasykûl karya guru kami, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Aqil]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar